Rabu, 03 Juli 2013

KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN SEBAGAI SATU KESATUAN DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS

,

KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN SEBAGAI SATU KESATUAN DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS


 Pembangunan wilayah perbatasan merupakan salah satu komitmen dan kebijaksanaan pembangunan yang telah digariskan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI. GBHN 1993 mengamanatkan bahwa dalam upaya pemerataan pembangunan di seluruh tanah air, pembangunan daerah dan kawasan yang kurang berkembang, seperti di kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, dan daerah perbatasan perlu ditingkatkan sebagai perwujudan Wawasan Nusantara. Khususnya dalam Repelita VI, pembangunan daerah diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antar dan antara kota dan desa, antarsektor, serta pembukaan percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan Wawasan Nusantara.

Dalam mewujudkan sasaran pembangunan daerah dalam Repelita VI tersebut antara lain dikembangkan kebijaksanaan pokok peningkatan keserasian pertumbuhan antardaerah. Keserasian antardaerah ditingkatkan untuk menunjang pencapaian sasaran pembangunan nasional, antara lain dengan memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antardaerah dengan mengembangkan potensi sesuai dengan kondisi daerah. Keserasian antardaerah diciptakan dengan memacu pembangunan daerah yang tertinggal dan terisolasi, seperti kawasan timur Indonesia dan beberapa wilayah di kawasan barat Indonesia, serta mendukung pengembangan kawasan khusus dan andalan di daerah, seperti kawasan pertumbuhan lintasbatas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional, kawasan yang cepat berkembang, kawasan yang dapat memacu perekonomian daerah, kawasan yang mempunyai masalah khusus, dan kawasan lainnya yang memiliki pendekatan pembangunan wilayah yang terpadu.
Selanjutnya, secara lebih tegas pengembangan kawasan khusus dikemukakan dalam Repelita VI sebagai salah satu program pembangunan dalam Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi. Sebagai suatu program dalam dokumen Repelita VI pada Bab Pembangunan Daerah, dikemukakan bahwa: "Untuk mencapai sasaran pembangunan dan menunjang laju pertumbuhan perekonomian daerah, dilaksanakan program pengembangan kawasan khusus serta pusat-pusat pertumbuhannya sesuai dengan rencana tata ruangnya, yang mencakup kawasan pertumbuhan yang menyangkut kerjasama dengan negara tetangga dan kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional, serta kawasan-kawasan andalan yang bersifat regional seperti kawasan yang cepat berkembang dan kawasan yang dapat memacu perekonomian daerah. Pengembangan kawasan khusus diserasikan dengan kondisi, potensi dan aspirasi daerah sekitar kawasan tersebut."
Dengan demikian, sesuai dengan penjelasan dalam dokumen Repelita VI, dapat diberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan kawasan khusus adalah: kawasan pertumbuhan kerjasama regional, kawasan perbatasan yang berdimensi hankamnas, dan kawasan andalan regional, yang dikembangkan sesuai dengan rencana tata ruangnya dan diserasikan dengan kondisi, potensi dan aspirasi daerah sekitarnya. Definisi ini berbeda dengan kawasan andalan, yang merupakan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan baik bagi pembangunan nasional maupun pembangunan daerah.
Kawasan khusus adalah kawasan yang mempunyai peranan dan ditetapkan di tingkat nasional, dan mempunyai nilai strategis, yang dapat tercakup di dalam kawasan perdesaan dan atau perkotaan, dan dapat merupakan kawasan budidaya dan atau kawasan lindung menurut dominasi kegiatan fungsi utama tertentu.
Nilai strategis suatu kawasan khusus adalah nilai yang ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan:
  • mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya;
  • mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya;
  • merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat bnaik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya;
  • mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional;
  • mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

Pada penjelasan berikutnya, sesuai dengan permintaan pihak Ditjen Bangda Depdagri untuk membatasi pembahasan secara lebih teknis pada pengembangan daerah perbatasan, mengingat sebagian besar kawasan khusus yang ada di Indonesia erat kaitannya atau terletak di wilayah perbatasan; serta beberapa isyu yang terkait dengan pembangunan kawasan khusus wilayah perbatasan.
 
KINERJA DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS
Karakteristik Kawasan Khusus Wilayah Perbatasan
Pada dasarnya terdapat tiga aspek pokok yang mendasari karakteristik daerah perbatasan, yaitu aspek (i) sosial ekonomi, (ii) pertahanan keamanan, dan (iii) politis.
Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain oleh: (a) lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, (b) rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, (c) rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), (d) langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).
Aspek hankam daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien.
Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi kepada kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut potensial untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terdapat kecenderungan untuk bergeser ke soal politik. Disamping itu, kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif sangat tergantung pada perekonomian negara tetangga, dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.
 
Profil Kawasan Khusus Wilayah Perbatasan
Wilayah perbatasan nagara kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga secara keseluruhan membentang dari pantai timur Sumatera, perbatasan darat Kalimantan, perbatasan laut Sulawesi Utara, daerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah, serta perbatasan darat antara Jayapura dengan Merauke di Irian Jaya. Secara keseluruhan, daerah perbatasan dengan negara tetangga mencakup tujuh wilayah propinsi daerah tingkat I yang terdiri atas 24 wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. Ketujuh propinsi daerah tingkat I tersebut adalah: (i) Daerah Istimewa Aceh, (ii) Sumatera Utara, (iii) Riau, (iv) Kalimantan Barat, (v) Kalimantan Timur, (vi) Sulawesi Utara, dan (vii) Irian Jaya.
Secara umum daerah perbatasan dengan negara tetangga di Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam daerah perbatasan yang didasarkan pada gugus/kelompok propinsi, yaitu: (i) daerah perbatasan Sumatera bagian timur yang terdiri atas wilayah lautan dan pulau-pulau kecil, (ii) daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang merupakan perbatasan wilayah darat, (iii) daerah perbatasan Jayapura-Merauke yang merupakan perbatasan wilayah darat, dan (iv) daerah perbatasan Sulawesi Utara yang meliputi wilayah lautan dan kepulauan.
Dari pengelompokkan propinsi yang menunjukkan tipologi dari daerah perbatasan di atas, dapat dikelompokkan pola keterkaitan yang ada antara dua atau lebih negara/propinsi/wilayah yang berbatasan sebagai berikut:
  • pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Sumatera bagian timur dengan wilayah Malaysia, Singapura, dan Thailand, relatif kurang dekat dan tidak langsung, karena dibatasi oleh perairan Selat Malaka; dengan perkecualian pola keterkaitan yang relatif telah maju dan pesat pada segitiga pertumbuhan IMS-GT/SIJORI antara Singapura, Johor, dan Riau (Pulau Batam);
  • pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah, relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan perbatasan darat, serta dengan kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia sehingga terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia;
  • pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Sulawesi Utara dengan Propinsi Mindanao di Filipina Selatan yang relatif kurang intensif dan tidak langsung karena relatif jauh dan dibatasi oleh perairan dalam dan wilayah kepulauan; namun demikian, kecenderungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat kepulauan yang ada di Kepulauan Sangihe dan Talaud mengarah kepada negara tetangga yang relatif lebih maju perekonomiannya;
  • pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Propinsi Irian Jaya dan Negara Papua Nugini yang relatif berhubungan langsung satu sama lain, dimana kondisi perekonomian kedua wilayah yang berbatasan tersebut relatif sama namun belum terjadi kegiatan perdagangan atau ekonomi yang intensif diantara keduanya.
 
Hasil Pembangunan Kawasan Khusus Daerah Perbatasan Dalam PJP I
Upaya untuk mempercepat pembangunan kawasan khusus daerah perbatasan selama ini telah mendapatkan perhatian dalam penyusunan kebijaksanaan dan rencana pembangunan baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, yang antara lain tercermin dalam dokumen: (i) GBHN dan Repelita Nasional khususnya tentang Pembangunan Daerah, (ii) Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Repelitada daerah-daerah yang mempunyai kawasan yang pesat pertumbuhan perekonomiannya, maupun wilayah perbatasan dengan negara tetangga, dan (iii) rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi dan kabupaten, serta wilayah fungsional lainnya.
Seperti halnya yang diamanatkan GBHN 1993 yang telah dikemukakan di atas, dalam dokumen GBHN 1988 dan Repelita V tentang pembangunan daerah, perlunya percepatan pembangunan kawasan khusus, terutama daerah perbatasan, telah dikemukakan bahwa perlu diberikan penekanan dan perhatian khusus pada daerah-daerah dan perhatian khusus pada daerah-daerah minus, padat penduduk, dan yang kurang penduduk, kepulauan terpencil, perbatasan, dan daerah transmigrasi.
Sedangkan dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Repelitada dari propinsi-propinsi yang memiliki kawasan khusus, terutama daerah perbatasan dengan negara tetangga, telah pula dikemukakan perlunya perhatian khusus bagi masyarakat perdesaan, perbatasan, dan pedalaman. Sehubungan dengan hal di atas maka arah dan kebijaksanaan pembangunan kawasan khusus yang merupakan daerah perbatasan harus dibina dalam rangka menciptakan garis/sabuk pengaman yang menjadi Benteng Pancasila bagi daerah belakangnya.
Selanjutnya dalam dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi (RSTRP) dan RTRW kabupaten/kotamadya (RUTRK) pada daerah-daerah yang memiliki wilayah perbatasan, telah pula dikemukakan pentingnya perhatian terhadap pembangunan daerah perbatasan sebagai kawasan khusus yang diprioritaskan untuk dikembangkan, yang antara lain merekomendasikan:
  • perlunya dilakukan penataan ruang kawasan khusus yang merupakan daerah perbatasan secara khusus, baik menyangkut pemantapan kawasan berfungsi lindung maupun kawasan budidaya;
  • perlunya dikembangkan sistem prasarana perhubungan khususnya pada jalur perbatasan;
  • perlunya dikembangkan pusat-pusat permukiman potensial baik sebagai pusat kegiatan ekonomi maupun sosial;
  • perlunya dikembangkan prasarana-prasarana pendukung lainnya seperti irigasi, air bersih, listrik, telekomunikasi, dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat setempat.

Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan kawasan khusus daerah perbatasan yang lebih berdayaguna dan berhasilguna, selama PJP I juga telah dilakukan kegiatan pemetaan dasar dan survei penegasan batas internasional dengan Malaysia di Kalimantan (1.740 kilometer), dan dengan Papua Nugini di Irian Jaya sepanjang 725 kilometer. Disamping itu kegiatan penataan ruang juga telah dilakukan pada wilayah perbatasan internasional yang pesat pertumbuhannya seperti di Pulau Batam dan Pulau Bintan, serta pada kawasan baru yang akan dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan seperti di Nunukan, Kalimantan Timur, yakni melalui penyusunan rencana detail tata ruang kawasan (RDTRK) Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Nunukan.
Selain itu, dalam mendukung upaya percepatan pembangunan kawasan khusus daerah perbatasan sebagaimana telah diamanatkan oleh kebijaksanaan dan rencana pembangunan daerah di masing-masing daerah yang memiliki wilayah perbatasan, diperlukan dukungan sistem prasarana pembangunan yang memadai, baik yang dibangun bersumber dari dana Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah masing-masing, maupun peran serta pihak swasta sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan.
Pada perbatasan antara Propinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak sepanjang 805 kilometer, baru dibangun dua jalur jalan lintas batas yang menghubungan Kalimantan Barat dengan Sarawak. Sedangkan pada perbatasan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah sepanjang 710 kilometer, baru dibangun beberapa jalan rintisan yang merupakan hasil kerjasama antara Kodam VI Tanjung Pura dengan Pemda Tingkat I Kalimantan Timur. Selain itu juga telah dilakukan peningkatan dan pemeliharaan beberapa lapangan terbang perintis di wilayah perbatasan seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, serta di Irian Jaya.
Sementara itu pada wilayah perbatasan lautan dan kepulauan seperti di Riau Kepulauan dan Sangihe Talaud, perhubungan laut disamping meningkatkan keterhubungan antardaerah, telah pula berfungsi membuka keterisolasian pulau tertentu serta mengkaitkan pusat-pusat produksi daerah ke dalam sistem jaringan pemasaran nasional maupun internasional. Hal ini membantu menciptakan keterkaitan dan kerja sama antardaerah yang selanjutnya memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa. Pembangunan prasarana lainnya yang juga sangat penting di wilayah perbatasan adalah pembangunan pos lintas batas seperti yang telah dibangun di Entikong Kalimantan Barat.
 
Kinerja Kelembagaan Kerjasama Wilayah Perbatasan
Beberapa hasil yang telah dicapai selama PJP I dalam pembangunan daerah perbatasan dengan negara tetangga, khususnya dengan Malaysia dan Papua Nugini, dalam bidang kelembagaan adalah terbentuknya:
  • Kerjasama di bidang sosial ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo, diketuai oleh General Border Committee (GBC) di masing-masing negara yang di Indonesia adalah Panglima ABRI. Di bawah GBC telah dibentuk pula kelompok kerja (KK) Sosek Malindo di tingkat propinsi/negeri yang ditujukan untuk: (a) menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerjasama pembangunan sosial ekonomi di daerah perbatasan.
  • Kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia (KK SOSEK MALINDO) wilayah perbatasan antara Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah) dan Kalimantan (Kalbar dan Kaltim) tersebut selain dikoordinasikan oleh Panglima ABRI selaku ketua GBC Indonesia, juga melibatkan Menteri Luar Negeri masing-masing negara selaku ketua Joint Committee Meeting (JCM) untuk membicarakan pembicaraan kerjasama bilateral antara Pemerintah Malaysia dan Pemerintah RI.
  • Kerjasama perbatasan Irian Jaya-Papua Nugini antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Papua Nugini melalui pembentukan Joint Border Committee (JBC) yang di pihak Pemerintah RI diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
Selain dari hasil kerjasama dalam bidang sosial ekonomi yang dilandasi oleh latar belakang politis di atas, telah dirintis dan kembangkan pula beberapa kerjasama ekonomi bilateral dan multilateral antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, yang antara lain ditunjukkan oleh:
  • kerjasama segitiga pertumbuhan IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle) atau yang juga dikenal dengan kerjasama segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapore-Johor-Riau);
  • kerjasama segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle);
  • kerjasama sosial ekonomi yang dijalin antara delapan propinsi di kawasan timur Indonesia dengan Propinsi Northern Teritorry di Australia, yang selanjutnya telah didepakati untuk dikembangkan menjadi Australia-Indonesia Development Area (AIDA);
  • kerjasama sosial ekonomi antara Propinsi Maluku dengan 3 propinsi di Filipina Selatan;
  • kerjasama kawasan pertumbuhan ASEAN timur, BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines East Asean Growth Area), yang meliputi Propinsi Sulawesi Utara (Manado dan Bitung), Propinsi Kalimantan Timur, Mindanao (Davao) di Filipina, Sabah (Kota Kinibalu), dan Brunei Darussalam.
Selain itu dalam kaitannya dengan pembinaan yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri terhadap pengembangan daerah-daerah perbatasan, telah dibentuk satu subdirektorat di Direktorat Pembinaan Pengembangan Wilayah, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri yang menangani langsung pembinaan terhadap wilayah perbatasan, yaitu Subdirektorat Pembinaan Wilayah Perbatasan dan Kepulauan Terpencil.
Kegiatan lainnya yang selama ini telah juga dilaksanakan adalah pertemuan koordinasi dalam rangka pembangunan daerah perbatasan antardepartemen terkait; seperti yang diselenggarakan pada bulan Maret dan Agustus 1993 yang lalu yang diikuti oleh 7 Ketua Bappeda Tingkat I, 24 Bupati KDH Tingkat II, dan Asren Kodam I, VI, VII, dan VIII, serta 14 instansi pusat terkait. Selain itu, juga telah dilaksanakan beberapa kali rapat koordinasi pembangunan kawasan khusus, yang menyangkut wilayah perbatasan antarnegara dan kawasan kerjasama ekonomi regional, antara lain yang telah dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh instansi berwenang, seperti Departemen Dalam Negeri (untuk perbatasan RI-PNG), Mabes ABRI (KK Sosek Malindo), dan Menko Prodis (kerjasama ekonomi subregional ASEAN dan Australia).
 
Tantangan Pembangunan Kawasan Khusus Wilayah Perbatasan
Kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan ditujukan untuk melindungi segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan pembangunan wilayah dan memelihara kerjasama dengan negara tetangga guna mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera.
Kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah perbatasan menghadapi tantangan antara lain yang mencakup delapan aspek sebagai berikut:
  • Aspek geografis, yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu (airstrip), dan sarana komunikasi yang memadai untuk keperluan pembangunan daerah perbatasan kedua negara;
  • Aspek demografi, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan transmigrasi dan permukiman kembali (resettlement) penduduk setempat;
  • Aspek sumber daya alam, yang meliputi survei dan pemetaan sumber daya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya;
  • Aspek ideologi, yang meliputi pembinaan dan penghayatan ideologi yang mantap untuk menangkal ideologi asing yang masuk dari negara tetangga;
  • Aspek politik, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat;
  • Aspek ekonomi, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat berfungsi sebagai penyangga wilayah sekitarnya;
  • Aspek sosial budaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing;
  • Aspek hankam, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai, serta perangkat komando dan pengendalian yang mencukupi.

Kendala Pembangunan Kawasan Khusus Wilayah Perbatasan
Dengan mempertimbangkan keragaman kondisi wilayah perbatasan dengan negara tetangga, beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam upaya mempercepat pembangunan daerah perbatasan antara lain adalah:
  • sumber daya manusia, yang ditunjukkan antara lain oleh rendahnya jumlah dan kualitas kesejahteraan penduduk dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan dengan luas wilayah dan garis perbatasan yang panjang, yang berimplikasi pada kegiatan pelintas batas yang ilegal; selain itu banyaknya TKI yang bekerja di negara tetangga sebagai pekerja kasar seperti buruh perkebunan, bangunan, dan pembantu rumah tangga, juga turut menurunkan harkat bangsa;
  • sumber daya buatan (prasarana), yang tingkat pelayanannya masih sangat terbatas, seperti sistem perhubungan dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan air bersih, serta fasilitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pasar, sehingga penduduk daerah perbatasan masih cenderung untuk berorientasi kepada negara tetangga yang tingkat aksesibilitas fisik dan informasinya relatif lebih tinggi;
  • penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam, yang ditunjukkan antara lain oleh terjadinya konflik ataupun tumpang tindih pemanfaatan ruang (lahan) baik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, maupun antar kawasan budidaya seperti antara kegiatan pertambangan dan kehutanan;
  • penegasan status daerah perbatasan, yang antara lain ditunjukkan oleh masih terdapatnya beberapa wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga namun belum dimasukkan ke dalam wilayah persetujuan lintas batas oleh kedua negara, terutama dalam kaitannya dengan larangan untuk mengelola dan mengembangkan kawasan penyangga sepanjang garis perbatasan;
  • keterbatasan sumber pendanaan, dimana daerah perbatasan relatif kurang diberikan prioritas pengembangannya dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga semakin memperlebar tingkat kesenjangan antardaerah;
  • terbatasnya kelembagaan dan aparat yang ditugaskan di daerah perbatasan, dengan fasilitas yang kurang mencukupi, sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat setempat relatif kurang memadai.

Peluang Pembangunan Kawasan Khusus Daerah Perbatasan
Pada umumnya daerah perbatasan memiliki kandungan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka memperkuat daya ketahanan masyarakat, serta merupakan modal dasar dan peluang untuk percepatan pembangunan daerah masing-masing.
Potensi daerah perbatasan lainnya yang dapat dijadikan peluang bagi percepatan pembangunan daerah adalah letaknya yang memungkinkan hubungan langsung dengan negara tetangga yang merupakan pasar potensial yang dapat dimanfaatkan tidak saja bagi produsen internal di daerah masing-masing, tetapi juga secara nasional.
Dengan potensi sumber daya alam dan letak geografis di atas, maka kegiatan apapun yang dilakukan di daerah perbatasan akan mencerminkan keseluruhan kepentingan bagian wilayah tanah air lainnya, yang selanjutnya akan dapat menciptakan keterkaitan fungsional yang lebih luas antara negara tetangga dengan bagian wilayah tanah air lainnya.
Selain itu potensi yang erat kaitannya dengan aspek pertahanan keamanan adalah dijadikannya daerah perbatasan sebagai barometer keamanan dan ketahanan wilayah yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.
 
STRATEGI PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS WILAYAH PERBATASAN
Wilayah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan tetapi bersifat strategis. Bila dibandingkan dengan keadaan wilayah negara tetangga yang berbatasan, nampak adanya kesenjangan sosial ekonomi dan sosial budaya. Gejala seperti ini mudah menimbulkan kerawanan, karena penduduk kawasan perbatasan cenderung berorientasi ke kawasan negara tetangga untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka. Apabila tidak diwaspadai dan dibina sejak dini, maka kerawanan tersebut dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumber daya alam yang besar di kawasan perbatasan dan sekitarnya.
Kebijaksanaan pembangunan daerah perbatasan, sebagaimana diamanatkan GBHN 1993, ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah perbatasan serta meningkatkan dan memantapkan ketahanan nasional (stabilitas dalam negeri).
Strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan pembangunan daerah perbatasan bermuara pada kesatuan pandangan bahwa wilayah perbatasan adalah merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dimana daerah dan masyarakatnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal menerima pelayanan dari Pemerintah dalam arti luas, terutama melalui upaya pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air yang ditujukan kepada: (a) upaya memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat agar mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, dan (b) pemantapan keamanan dalam rangka pembinaan serta peningkatan ketahanan wilayah menuju terciptanya ketahanan nasional. Dengan demikian pembangunan daerah perbatasan mencakup dua aspek pembangunan, yaitu aspek kesejahteraan (prosperity) dan aspek keamanan (security).
Dalam mendukung upaya percepatan pembangunan daerah perbatasan sebagaimana telah diamanatkan oleh kebijaksanaan dan rencana pembangunan daerah di masing-masing daerah yang memiliki wilayah perbatasan, diperlukan dukungan sistem prasarana pembangunan yang memadai, baik yang dibangun bersumber dari dana Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah masing-masing, maupun peran serta pihak swasta sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan.
Bertitik tolak dari beberapa kriteria dasar yang perlu dipertimbangkan dalam membangun daerah perbatasan, strategi pembangunan daerah perbatasan ditempuh melalui peningkatan taraf hidup masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana dasar (terutama perhubungan) dengan secara optimal memanfaatkan potensi wilayah, meningkatkan kuantitas dan kualitas aparatur pemerintahan di daerah perbatasan, serta mewujudkan sabuk pengamanan (security belt) di sepanjang wilayah perbatasan sebagai penangkal terhadap kemungkinan terjadinya ancaman langsung bagi kedaulatan negara, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Mengingat luasnya wilayah, disertai dengan kondisi dan medan yang berat, maka dalam upaya pembangunan daerah perbatasan diperlukan dana dan tenaga yang cukup besar, yang untuk itu diperlukan keterpaduan baik menyangkut perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan yang terpadu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat serta pihak swasta.
Untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan daerah perbatasan secara optimal, dapat diterapkan strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan sebagai berikut: (a) pengembangan pusat-pusat permukiman potensial yang tetap berorientasi pada sistem atau pola pengembangan wilayah propinsi; (b) peningkatan pembangunan prasarana transportasi dalam rangka membuka isolasi daerah, serta pengembangan potensi wilayah; (c) peningkatan perdagangan lintas batas (kegiatan ekspor dan impor) melalui jalur darat maupun laut secara lebih berdayaguna dan berhasilguna; (d) peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, serta penyuluhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat berbangsa dan bernegara; (e) peningkatan penataan lingkungan permukiman yang dilakukan secara terpadu dengan program penataan kembali wilayah administratif (desa, kecamatan, dan kabupaten); (f) penanggulangan kemiskinan yang dicapai melalui pemenuhan kebutuhan mendesak dan melalui redistribusi manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi khususnya dari sektor-sektor produksi seperti pertambangan dan kehutanan antara lain melalui HPH Bina Desa; dan (g) peningkatan pelayanan telekomunikasi seperti penambahan dan peningkatan daya pancar relay TVRI dan RRI.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasilguna pembangunan daerah perbatasan, diperlukan upaya yang antara lain melalui penataan ruang daerah perbatasan. Penataan ruang daerah perbatasan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
  • penetapan pusat-pusat pertumbuhan;
  • penetapan sistem perhubungan yang dapat mendukung pola produksi dan perubahan orientasi dari subsisten kepada pasar;
  • pengembangan kegiatan ekonomi setempat yang didasarkan pada potensi sumber daya alam yang prospektif dikembangkan;
  • pengembangan prasarana dan sarana dasar pembangunan yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi dan peran serta pihak swasta;
  • peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan daerah perbatasan;
  • pengembangan sistem informasi dan komunikasi baik oleh pemerintah maupun swasta dalam menumbuhkan dan meningkatkan rasa kebangsaan masyarakat di perbatasan.
Selain itu, dalam rangka lebih meningkatkan hasilguna upaya pembangunan wilayah perbatasan, perlu dipertimbangkan beberapa aspek strategis suatu kawasan khusus sebagai berikut:
  • Penjabaran mengenai arti dan variabel atau indikator dari mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya.
  • Penjabaran mengenai arti dan variabel atau indikator dari mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya.
  • Penjabaran mengenai arti dan variabel atau indikator dari faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
 
 
ISYU PENGEMBANGAN KAWASAN KHUSUS WILAYAH PERBATASAN
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Bappenas, dalam kenyataan di lapangan banyak ditemui kebijaksanaan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan khusus wilayah perbatasan, sebagaimana dikemukakan di atas, melibatkan banyak instansi (departemen/LPND), baik antarinstansi terkait di tingkat pusat maupun antara instansi pusat dengan pemerintah daerah.
Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan disini beberapa isyu yang berkenaan dengan belum terkoordinasinya pengembangan kawasan khusus wilayah perbatasan yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan perbatasan antarnegara dan sekaligus juga terkait dengan kerjasama ekonomi sub-regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya. Belum lagi apabila dikaitkan dengan rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) di setiap propinsi di kawasan timur Indonesia, sesuai dengan Keppres No. 26 Tahun 1996, maka isyu dan permasalahan dalam koordinasi pembangunan kawasan khusus wilayah perbatasan menjadi semakin kompleks dan perlu untuk lebih ditingkatkan kinerja keterpaduannya.
Sebagai misalnya, dalam kaitannya denganwilayah kerjasama sub-regional ASEAN seperti BIMP-EAGA, penetapan KAPET di propinsi-propinsi terkait sangat perlu mempertimbangkan keterkaitan pengembangannya dalam konteks pengembangan kerjasama sub-regional tersebut. Dalam hal ini, rencana pengembangan KAPET Sanggau di Kalimantan Barat, KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur, dan KAPET Manado-Bitung di Sulawesi Utara, secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkembangkan dayasaing, kompatibilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di negara tetangganya.
Dengan demikian, penetapan kawasan andalan prioritas KAPET yang menjadi arahan lokasi investasi dunia usaha tersebut, dapat dijadikan acuan dalam rangka meningkatkan kinerja peranserta dan produktivitas investasi dunia usaha dalam lingkup kerjasama sub-regional oleh masing-masing propinsi yang terkait.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan komitmen dan kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan kepada orientasi pembangunan (prosperity/development approach) dibandingkan dengan orientasi/pendekatan keamanan (security approach) yang selama ini diterapkan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti yang ditemui dalam wilayah perbatasan Kalimantan.
  • Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/development approach) yang diacu Bappenas dan instansi koordinatif lainnya seperti Menko Prodis dengan BIMP-EAGAnya.
  • Walaupun demikian, pola pendekatan berbasis keamanan yang selama ini diterapkan secara bertahap telah mulai bergeser kepada pola pendekatan pembangunan, dengan penekanan tetap kepada aspek security.
  • Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan/'interface' dengan program pengembangan kawasan khusus lainnya seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integratif dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo. Informasi menunjukkan bahwa berhubung penanganan KK Sosek Malindo dan BIMP EAGA berada pada instansi koordinator yang berbeda, walaupun instansi terkaitnya relatif sama, maka upaya untuk menterpadukan dan saling melengkapi di antara keduanya masih belum dapat terwujud dan terkesan masih parsial penanganannya.
  • Dengan adanya kerancuan dan ketidakterpaduan di atas, maka sangat diperlukan suatu upaya untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna kedua upaya kerjasama yang sifatnya bilateral dan subregional tersebut, yaitu melalui pendekatan program pengembangan kawasan khusus yang meliputi pengembangan kawasan cepat tumbuh (kerjasama ekonomi subregional/KESR), kawasan perbatasan antarnegara (KK Sosek Malindo dan JBC dengan Papua Nugini), dan kawasan andalan prioritas (KAPET).
  • Sedangkan terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antarnegara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya dan di Irian Jaya dengan Joint Border Comitte (JBC), diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintassektoral dan lintassumber pembiayaan. Untuk itu, diperlukan penyusunan suatu masterplan yang terpadu dalam rangka pengembangan kawasan perbatasan tersebut.

 


0 komentar to “KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN SEBAGAI SATU KESATUAN DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS ”

Posting Komentar