Rabu, 03 Juli 2013

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PEMBERIAN PERLINDUNGAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA PELAKU TINDAK PIDANA DI LUAR NEGERI

,

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PEMBERIAN PERLINDUNGAN
BAGI WARGA NEGARA INDONESIA PELAKU TINDAK PIDANA DI LUAR NEGERI
Tulisan yang disampaikan ini adalah bersifat normatif mengenai tanggung jawab negara dalam memberi perlindungan dan mengenai penerapan hukuman mati. Dengan sengaja, pembahasan ini tidak bersifat analitis berkaitan dengan peraturan perundang-undangan untuk menghindari kemungkinan adanya perkara yang masuk berkaitan dengan aturan UU ini. Selain itu, topik yang dimohon pun bersifat normatif. 

Mengenai Tanggung Jawab Perlindungan Negara
Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945 menentukan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lalu, apakah tujuan perlindungan negara tersebut terbatas pada warga negara yang hanya berada di dalam negeri? Jawabnya, tentu tidak. Perlindungan negara terhadap warga negaranya berlaku dimanapun dia berada di segenap penjuru dunia. Ketika negara berupaya memfasilitasi setiap warga negaranya dalam melaksanakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi setiap 5 (lima) tahun-an maka negara juga wajib melindungi hak asasi setiap warga negaranya.
Perlakuan pemberian perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, baik dia pelajar maupun pekerja, tidaklah boleh berbeda atau dibedakan. Negara wajib melindungi setiap warga negaranya dengan perlakuan yang sama dan setara. Hal inilah yang melandasi pertimbangan disusunnya UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negara, dimana pada konsideran menimbang disebutkan bahwa “negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia”
Dalam konteks perlindungan terhadap warga negara yang menjadi tenaga kerja di luar negeri, Peraturan Perundang-undangan telah mengatur bentuk-bentuk perlindungan negara kepada tenaga kerja Indonesia. Bentuk perlindungan negara ini diberikan pada masa sebelum, selama, maupun sesudah bekerja (vide Pasal 1 angka 4 UU nomor 39 Tahun 2004). Sebagai peraturan pelaksana dari UU nomor 39 tahun 2004, Pemerintah telah menerbitkan PP nomor 3 tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negari yang menjabarkan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan negara secara lebih rinci seperti, perlindungan teknis dan administratif; bantuan dan perlindungan kekonsuleran; pemberian bantuan hukum; pembelaan atas pemenuhan hak-hak TKI;  upaya diplomatik; serta bentuk perlindungan lainnya.
Disamping itu, bentuk perhatian dan keseriusan negara akan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri adalah dengan diratifikasinya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya) dengan diterbitkannya UU nomor 6 tahun 2012.
Permasalahannya adalah, bagaimana dengan tenaga kerja Indonesia yang terlibat dengan tindak pidana, terlebih tenaga kerja Indonesia yang terancam hukuman mati akibat tindak pidana yang dilakukannya di luar negeri? Apakah negara wajib memberi perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia itu? Apa bentuk perlindungan yang dapat dilakukan negara terhadap warga negaranya yang diancam hukuman mati di luar negeri?
Jawaban dari permasalahan diatas telah diatur secara normatif dalam peraturan perundang-undangan. Baik UUD maupun UU, mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya, di dalam maupun diluar negeri, tanpa melihat status, sebagai pelajar atau bahkan tenaga kerja, terlebih bagi yang sedang mengalami masalah hukum atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Bentuk perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja Indonesia yang berada diluar negeri pun telah diatur secara normatif dalam peraturan perundang-undangan, seperti pemberian bantuan hukum hingga upaya diplomatik. Implementasi peraturan perundang-undangan secara teknis diatur dalam tugas pokok masing-masing lembaga, seperti Kementerian Luar Negeri yang diberikan tugas pokok untuk memberikan perlindungan warga negara, termasuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam UU nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Yang menjadi isu lebih sensitif adalah berkaitan dengan ancaman hukum mati terhadap tenaga kerja Indoensia yang melakukan tindak pidana di luar negeri, terutama di negara-negara Timur Tengah yang menerapkan syariat Islam. Bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya tidak terbatas pada pemberian bantuan hukum dan upaya diplomatik tetapi lebih dari itu. Dalam beberapa kasus, negara juga membayar uang Diyat sebagai kompensasi dari pemberian maaf dari pihak ahli waris korban yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Negara mengambil alih beban pembayaran uang diyat dengan pertimbangan bahwa latar belakang ekanomi keluarga tenaga kerja Indonesia yang diancam hukuman mati semuanya berasal dari keluarga yang tidak mampu, mengingat angka uang diyat tidaklah kecil, bahkan ada yang mencapai 5,2 milyar rupiah dalam kasus diyat untuk Darsem Binti Dawud Tawar.
Mengenai Hukuman Mati
Dalam konteks hukum Internasional, hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), namun dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan (vide Pasal 6 ICCPR). Akan tetapi, semangat yang ditegaskan dalam ICCPR adalah untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati. PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984. Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan.
Isu hukuman mati bukan saja tekait dengan argumentasi hukum an sich, namun juga dipengaruhi oleh konteks hukum internasional, pandangan filosofis yang berkembang dan perubahan sosial yang terjadi. Pemberlakuan hukuman mati di suatu negara paling tidak akan memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu 1) Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara dan bentuk pemerintahan yang dianutnya; 2) Dinamika Sosial, politik dan hukum internasional yang mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan sosial di masyarakat; dan 3) Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh sudah lebih maju. Artinya, perdebatan mengenai hukuman mati bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara pandang dan pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman mati tersebut akan diberlakukan.
Dalam konteks hukum nasional, perdebatan mengenai hukuman mati telah didiskusikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan nomor 2-3/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UUD 1945 dan Putusan nomor 15/PUU-X/2012 perihal Pengujian Pasal 365 ayat (4) KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara, MK berpendapat bahwa
“...dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) DUHAM.”
Dengan demikian, hukuman mati sebagai bentuk pembatasan hak asasi manusia telah dibenarkan secara konstitusional maupun berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).


0 komentar to “TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PEMBERIAN PERLINDUNGAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA PELAKU TINDAK PIDANA DI LUAR NEGERI”

Posting Komentar