BAGI WARGA NEGARA
INDONESIA PELAKU TINDAK PIDANA DI LUAR NEGERI
Tulisan
yang disampaikan ini adalah bersifat normatif mengenai tanggung jawab negara
dalam memberi perlindungan dan mengenai penerapan hukuman mati. Dengan sengaja,
pembahasan ini tidak bersifat analitis berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan untuk menghindari kemungkinan adanya perkara yang masuk
berkaitan dengan aturan UU ini. Selain itu, topik yang dimohon pun bersifat
normatif.
Mengenai
Tanggung Jawab Perlindungan Negara
Alinea
ke-empat Pembukaan UUD 1945 menentukan tujuan pembentukan Pemerintah Negara
Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia”. Lalu, apakah tujuan perlindungan negara tersebut terbatas
pada warga negara yang hanya berada di dalam negeri? Jawabnya, tentu tidak.
Perlindungan negara terhadap warga negaranya berlaku dimanapun dia berada di
segenap penjuru dunia. Ketika negara berupaya memfasilitasi setiap warga
negaranya dalam melaksanakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi setiap 5 (lima)
tahun-an maka negara juga wajib melindungi hak asasi setiap warga negaranya.
Perlakuan
pemberian perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang berada di luar
negeri, baik dia pelajar maupun pekerja, tidaklah boleh berbeda atau dibedakan.
Negara wajib melindungi setiap warga negaranya dengan perlakuan yang sama dan
setara. Hal inilah yang melandasi pertimbangan disusunnya UU nomor 39 tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negara,
dimana pada konsideran menimbang disebutkan bahwa “negara wajib menjamin dan
melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri
berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan
keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia”
Dalam
konteks perlindungan terhadap warga negara yang menjadi tenaga kerja di luar
negeri, Peraturan Perundang-undangan telah mengatur bentuk-bentuk perlindungan
negara kepada tenaga kerja Indonesia. Bentuk perlindungan negara ini diberikan
pada masa sebelum, selama, maupun sesudah bekerja (vide Pasal 1 angka 4 UU nomor 39 Tahun 2004). Sebagai peraturan
pelaksana dari UU nomor 39 tahun 2004, Pemerintah telah menerbitkan PP nomor 3
tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negari yang
menjabarkan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan negara secara lebih rinci
seperti, perlindungan teknis dan administratif; bantuan dan perlindungan
kekonsuleran; pemberian bantuan hukum; pembelaan atas pemenuhan hak-hak
TKI; upaya diplomatik; serta bentuk
perlindungan lainnya.
Disamping
itu, bentuk perhatian dan keseriusan negara akan perlindungan terhadap tenaga
kerja Indonesia yang berada di luar negeri adalah dengan diratifikasinya International Convention on the Protection
of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
(Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran
Dan Anggota Keluarganya) dengan diterbitkannya UU nomor 6 tahun 2012.
Permasalahannya
adalah, bagaimana dengan tenaga kerja Indonesia yang terlibat dengan tindak
pidana, terlebih tenaga kerja Indonesia yang terancam hukuman mati akibat
tindak pidana yang dilakukannya di luar negeri? Apakah negara wajib memberi
perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia itu? Apa bentuk perlindungan yang
dapat dilakukan negara terhadap warga negaranya yang diancam hukuman mati di
luar negeri?
Jawaban
dari permasalahan diatas telah diatur secara normatif dalam peraturan
perundang-undangan. Baik UUD maupun UU, mewajibkan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap warga negaranya, di dalam maupun diluar negeri, tanpa
melihat status, sebagai pelajar atau bahkan tenaga kerja, terlebih bagi yang
sedang mengalami masalah hukum atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.
Bentuk perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja Indonesia yang berada
diluar negeri pun telah diatur secara normatif dalam peraturan perundang-undangan,
seperti pemberian bantuan hukum hingga upaya diplomatik. Implementasi peraturan
perundang-undangan secara teknis diatur dalam tugas pokok masing-masing
lembaga, seperti Kementerian Luar Negeri yang diberikan tugas pokok untuk
memberikan perlindungan warga negara, termasuk tenaga kerja Indonesia di luar
negeri sebagaimana diatur dalam UU nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.
Yang
menjadi isu lebih sensitif adalah berkaitan dengan ancaman hukum mati terhadap
tenaga kerja Indoensia yang melakukan tindak pidana di luar negeri, terutama di
negara-negara Timur Tengah yang menerapkan syariat Islam. Bentuk perlindungan
negara terhadap warga negaranya tidak terbatas pada pemberian bantuan hukum dan
upaya diplomatik tetapi lebih dari itu. Dalam beberapa kasus, negara juga
membayar uang Diyat sebagai
kompensasi dari pemberian maaf dari pihak ahli waris korban yang dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Negara mengambil alih
beban pembayaran uang diyat dengan
pertimbangan bahwa latar belakang ekanomi keluarga tenaga kerja Indonesia yang
diancam hukuman mati semuanya berasal dari keluarga yang tidak mampu, mengingat
angka uang diyat tidaklah kecil,
bahkan ada yang mencapai 5,2 milyar rupiah dalam kasus diyat untuk Darsem Binti Dawud Tawar.
Mengenai Hukuman
Mati
Dalam
konteks hukum Internasional, hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling
kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR) yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia. Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak
yang tidak dapat dikurang-kurangi), namun dinyatakan bahwa hukuman mati masih
diperbolehkan (vide Pasal 6 ICCPR). Akan
tetapi, semangat yang ditegaskan dalam ICCPR adalah untuk secara bertahap dan
progresif menghapuskan praktek hukuman mati. PBB juga
mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang
Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of
Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB
1984/50, tertanggal 25 Mei 1984. Panduan ini memperjelas pembatasan praktek
hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Baru
pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second
Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights;
aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi
Majelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak
diperkenankan.
Isu hukuman mati
bukan saja tekait dengan argumentasi hukum an
sich, namun juga dipengaruhi oleh konteks hukum internasional, pandangan
filosofis yang berkembang dan perubahan sosial yang terjadi. Pemberlakuan hukuman
mati di suatu negara paling tidak akan memperbincangkan tiga aspek yang saling
terkait, yaitu 1) Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu
negara dan bentuk pemerintahan yang dianutnya; 2) Dinamika Sosial, politik dan
hukum internasional yang mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan
sosial di masyarakat; dan 3) Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan
zaman yang jauh sudah lebih maju. Artinya,
perdebatan mengenai hukuman mati bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara
pandang dan pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana
hukuman mati tersebut akan diberlakukan.
Dalam konteks hukum nasional,
perdebatan mengenai hukuman mati telah didiskusikan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi. Dalam putusan nomor 2-3/PUU-V/2007 perihal Pengujian
UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UUD 1945 dan Putusan nomor 15/PUU-X/2012
perihal Pengujian Pasal 365 ayat (4) KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara,
MK berpendapat bahwa
“...dilihat dari perspektif original intent pembentuk
UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945
keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh
penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur
tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara
penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia
yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada
pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan
mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang juga menempatkan pasal tentang
pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2)
DUHAM.”
Dengan demikian, hukuman mati sebagai
bentuk pembatasan hak asasi manusia telah dibenarkan secara konstitusional
maupun berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).