Rabu, 03 Juli 2013

kekerasan militer dalam bangsa indonesia

,

Kekerasan dan militer Dalam Bangsa Indonesia

Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sebenarnya adalah produk dari budaya kekerasan yang tumbuh dan berkembang sejak jaman dahulu. Akhir – akhir ini dalam masyarakat Indonesia sering kita lihat segala bentuk tindakan – tindakan anarkis yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kerusuhan Monas yang terjadi pada tanggal 1 Juni 2008 kemarin adalah salah satu bentuk tindakan tersebut. Penyerangan yang dilakukan oknum organisasi masa tertentu terhadap sekelompok aliansi yang berdemo di sekitar monas adalah salah satu bentuk tindakan kekerasan dan anarkis yang terjadi. Tindakan – tindakan semacam ini sebenarnya tidak hanya sekali ini terjadi. Peristiwa reformasi mei 1998 dapat dikatakan muncul dan kemudian berkembangnya budaya kekerasan dalam struktur kebudayaan masyarakat Indonesia.

Peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia adalah produk dari sejarah bangsa Indonesia yang terdidik dalam sebuah budaya militerisme. Pemikiran di atas menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia menganut budaya kekerasan sejak republik ini berdiri. Mungkin bisa kita ingat perjalanan bangsa Indonesia merengkuh kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. kemerdekaan bangsa ini diperoleh dari upaya – upaya fisik melawan belanda. Fakta – fakta sejarah mengungkapkan bahwa perlawanan fisik sangat berperan aktif dalam upaya bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Memang hal ini sangat dimaklumi karena mengingat situasi dan kondisi yang berkembang pada saat itu, namun celakanya, setelah Indonesia berdiri, budaya– budaya seperti ini tetap dilestarikan dan terus dikembangkan oleh pemimpin – pemimpin bangsa. Mulai dari presiden pertama republik Indonesia, Soekarno, dapat kita lihat perannya dalam pembentukan budaya kekerasan ini. Soekarno merupakan pemimpin besar revolusi dan panglima tertinggi dalam tubuh angkatan bersenjata yang dulu masih disebut ABRI. Militer sangat berperan dalam pembentukan dan pemutusan kebijakan Negara pada saat itu. Penumpasan perlawanan – perlawanan di beberapa wilayah lebih ditekankan dengan upaya militer. Selanjutnya Soeharto, dalam kepemimpinannya mungkin dapat kita katakan sebagai awal ideology ini berkembang. Soeharto sangat menggunakan kepemimpinan keras dan militeristik. Hal ini terbukti dengan munculnya konsepsi dwi fungsi ABRI yang disetuskan oleh A.H. Nasution yang kemudian diimplementasikan oleh Soeharto dalam system kepemimpinannya. Dalam orde baru hanya ada dua kata, yaitu Soeharto dan ABRI. Semua hal yang menentang pemerintahan pada masa itu akan dilenyapkan dan dihancurkan yang dituduh sebagai penentang pemerintah. Peristiwa reformasi 1998 menjadikan akhir dari rezim ini berdiri, namun bukanlah akhir dari budaya kekerasan yang sudah mendarah daging dalam tubuh masyarakat Indonesia. Peristiwa itu juga diwarnai dengan aksi – aksi kekerasan yang dilakukan antara mahasiswa dan masyarakat melawan pemerintah yang dalam hal ini dapat dikatakan polisi dan militer. Peristiwa semacam ini kemudian dapat kita lihat sampai sekarang seperti yang akhir – akhir ini terjadi adalah bentrok antara aparat kepolisian dan mahasiswa UNAS dan peristiwa penyerangan oknum – oknum ormas tertentu terhadap sekelompok aliansi yang sedang berdemo di sekitar monas. Dalam satu sisi, upaya – upaya militer memang diperlukan untuk mengatasi hal ini, namun pemerintah tidak melihat akibat dari semua ini. Budaya kekerasan timbul dan berkembang di masyarakat akibat dari system pemerintahan yang mengacu pada militeristik.
Berdasarkan beberapa fakta yang diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seperti ini tidak hanya terjadi pada masa sekarang, namun sudah terjadi jauh – jauh hari ketika bangsa ini masih bayi. Mungkin bisa dikatakan pemerintahan Soekarno adalah pencetus dari hal ini, namun kesalahan dapat kita limpahkan kepada seluruh warga Indonesia karena terus memproduksi budaya – budaya kekerasan ini. Sudah saatnya pemerintah dan warga Indonesia menghapus budaya – budaya seperti ini. Pemberantasan korupsi dan pembenahan struktur birokrasi memang harus dilakukan, namun jangan melupakan hal – hal tentang kebudayaan yang bersifat negative. Reformasi selayaknya dipahami secara luas, tidak dengan adu jotos, saling lempar batu dan debat kusir. Reformasi harus lebih dipahami dengan perombakan kembali sytem kebudayaan yang terdapat di masyarakat Indonesia. Pembelajaran tentang hakekat kebudayaan yang luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus lebih ditingkatkan, khususnya untuk konsumsi generasi – generasi penerus bangsa. Bagaimana kita bisa menghasilkan generasi – generasi penerus yang berkualitas jika generasi yang ada sekarang masih memproduksi budaya – budaya semacam itu? Sangat mungkin jika generasi penerus bangsa akan melakukan tindakan – tindakan anarkis dan kekerasan karena memang budaya semacam ini masih terus diproduksi oleh masyarakat Indonesia. Generasi muda kita sudah selayaknya diberi pemahaman yang lebih baik mengenai arti nasionalisme untuk bangsa agar kejadian – kejadian kekerasan dapat dihapuskan di seluruh wilayah Indonesia.
Semoga Indonesia dapat menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
menurut saya :
budaya kekerasan antaragama dan antaretnis akan terus berkembang jika praduga negatif masih ada, atau bahkan masih terus dibangun oleh oknum tertentu. Franz-Magnis Suseno dalam tulisannya menyatakan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia diharapkan dapat menjalankan empat hal yang dapat mengurangi iklim umum dari kekerasan dalam masyarakat: supremasi hukum, desentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi di Indonesia secara teratur dan dengan cara yang terorganisasi dengan baik, mengusahakan masyarakat yang demokratis, serta yang paling mendasar adalah membangun ekonomi Indonesia sehingga masyarakat luas merasakan segala sesuatunya dengan adil. saya sangat setuju terhadap diletakkannya toleransi dan kejujuran sebagai titik tolak keempat hal di atas. Toleransi berawal dari cara berpikir yang terbuka, sehingga menyebabkan masyarakat merasa mudah dan rileks hidup bersama dengan orang-orang yang mempunyai budaya atau orientasi agama yang berbeda. Untuk membangunnya, masyarakat harus kembali ke akar agama masing-masing untuk mencari dasar-dasar normatif toleransi. Selanjutnya, toleransi dapat membantu tokoh-tokoh agama dalam melakukan dialog mengenai ajaran sebagian besar agama, membuktikan bahwa toleransi beragama merupakan tuntutan agama mereka masing-masing, dan membantu peningkatan sosial. Agama adalah institusi yang berperan penting dalam kehidupan seorang individu. Agama sebagai kekuatan pemersatu masyarakat, seperti yang dinyatakan Emile Durkheim, penulis harapkan dapat menjadi langkah awal dari usaha menghindari kekerasan karena tujuan utama agama adalah bukan sekadar dengan Tuhan, tetapi juga untuk membantu mengembangkan rasa paguyuban atau sense of community. Jika rasa itu sudah berhasil dibangun dalam masyarakat tradisional, maka masyarakat post-traditional pun memiliki kesempatan berhasil yang sama. Di samping toleransi, masyarakat yang telah biasa melihat kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam cara bekerja pemerintah, supremasi hukum akan berjalan dengan baik karena masyarakat percaya kepada niat dan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan hukum.

0 komentar to “kekerasan militer dalam bangsa indonesia”

Posting Komentar